SWARAMANDAR.COM, MAMUJU – Setelah hampir satu dekade berjuang di jalur hukum, A. Darmawati Atjo, ahli waris dari almarhum M. Djawar Atjo Mea, secara resmi mengajukan permohonan eksekusi atas sebidang tanah seluas 6.000 meter persegi yang terletak di kawasan Pasar Regional Mamuju.
Meski telah dimenangkan di semua tingkatan peradilan, lahan yang disengketakan tersebut hingga kini masih dikuasai oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Mamuju.
Dalam surat resminya yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri Mamuju, Darmawati meminta agar pengadilan menjalankan amar putusan yang telah inkracht van gewijsde atau berkekuatan hukum tetap dan memerintahkan pengosongan serta penyerahan objek perkara kepada dirinya selaku pemilik sah.
“Saya hanya meminta hak keluarga kami dikembalikan. Kami sudah menang sejak di Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung. Tapi anehnya, tanah itu masih belum diserahkan. Sampai kapan kami harus menunggu?” kata Darmawati saat ditemui di kediamannya, Selasa (10/6/2025).
Permohonan eksekusi ini merujuk pada empat putusan penting, yakni: Putusan PN Mamuju No. 19/Pdt.G/2016/PN.Mam, Putusan PT Makassar No. 197/PDT/2017/PT MKS, Putusan MA RI No. 3283 K/Pdt/2017, serta Putusan PK MA RI No. 879 PK/Pdt/2019. Keempat putusan tersebut menyatakan bahwa lahan di Jalan Diponegoro, Kelurahan Karema, tersebut adalah milik sah almarhum M. Djawar Atjo Mea, dan pemerintah daerah diwajibkan untuk menyerahkannya kepada ahli waris.
Namun hingga kini, tanah tersebut masih tercatat sebagai aset Pemda Mamuju dan menjadi bagian dari aktivitas Pasar Regional Mamuju.
Dalam permohonannya, Darmawati meminta agar Ketua Pengadilan Negeri Mamuju:
Menetapkan pelaksanaan eksekusi sesuai amar putusan, dengan Menugaskan juru sita serta aparat berwenang untuk mengosongkan lahan; Memerintahkan pihak terkait untuk tunduk pada isi putusan demi tegaknya hukum dan keadilan.
“Ini bukan semata-mata soal uang atau aset. Ini soal keadilan. Kalau pemerintah saja tidak patuh pada hukum, bagaimana rakyat kecil bisa percaya pada sistem?” ucap Darmawati dengan nada kecewa.
Secara hukum, permohonan eksekusi Darmawati dilindungi oleh: Pasal 195–200 HIR, yang mengatur tata cara eksekusi oleh juru sita; Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 3 Tahun 2018, tentang pelaksanaan eksekusi di lingkungan peradilan umum;
Prinsip umum “Putusan yang inkracht wajib dijalankan”, yang merupakan bagian dari asas kepastian hukum dalam negara hukum.
Permohonan eksekusi ini tidak hanya dikirim ke Pengadilan Negeri Mamuju, tapi juga ditembuskan kepada: Ketua Pengadilan Tinggi Makassar, Panitera Mahkamah Agung,
Kepala Kejaksaan Negeri Mamuju, Kapolres Mamuju, Bupati Mamuju, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Mamuju.
Langkah ini bertujuan agar seluruh pihak mengetahui status hukum tanah tersebut dan tidak menghambat proses eksekusi.
“Saya tidak mau ribut-ribut. Saya hanya minta hukum ditegakkan. Kami tempuh jalur hukum dari awal, dan kami menang. Tapi sampai hari ini, kami belum bisa pegang tanah kami sendiri,” ungkap Darmawati sambil menunjukkan salinan putusan Mahkamah Agung.
Kasus ini menjadi ujian penting bagi institusi peradilan dan integritas penegakan hukum di Sulawesi Barat. Jika eksekusi tidak dilakukan, maka wibawa hukum akan dipertanyakan.
Sebaliknya, pelaksanaan eksekusi dapat menjadi preseden positif bahwa negara tidak kebal hukum, bahkan terhadap asetnya sendiri.
“Ini bukan tentang saya. Ini tentang menghormati hukum. Saya hanya menagih janji negara melalui pengadilannya sendiri,” tutup Darmawati dengan mata berkaca-kaca.