Mantan Kades Balombong Diduga Korupsi, Kejari Majene Naikkan Status Kasus ke Penyidikan

SWARAMANDAR.COM, MAJENE – Dugaan praktik korupsi dana desa kembali mencoreng wajah pemerintahan di tingkat desa. Kali ini, sorotan publik tertuju pada mantan Kepala Desa (Kades) Balombong, Kecamatan Pamboang, Kabupaten Majene, yang diduga kuat melakukan penyalahgunaan Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) tahun anggaran 2022–2023.

Langkah serius ditunjukkan Kejaksaan Negeri (Kejari) Majene. Kepala Kejaksaan Negeri secara resmi telah menerbitkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: PRINT — 01/P.6.11/Fd.1/05/2025 tertanggal 27 Maret 2025. Surat tersebut menjadi dasar hukum peningkatan status kasus dugaan korupsi dana desa Balombong dari tahap penyelidikan ke tahap penyidikan.

Peningkatan status itu sekaligus menegaskan bahwa penyidik menemukan adanya bukti permulaan yang cukup terkait dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan mantan Kades berinisial N. Publik pun menanti langkah lanjutan Kejari Majene untuk menentukan pihak yang harus bertanggung jawab.

Sebagai tindak lanjut, penyidik Kejari Majene mulai melakukan pemanggilan saksi-saksi kunci. Pada Kamis, 21 Agustus 2025 pukul 10.00 WITA, dua pejabat Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Kabupaten Majene, yakni Kabid Pemerintahan Desa dan Kabid Ekonomi, hadir memenuhi panggilan penyidik.

Baca Juga  Seorang Pria Asik Duduk di Depan Masjid Al-Anwar Kelurahan Mapilli, Diamankan Karena Kedapatan Membawa Sajam Berupa Badik

Kepala Dinas PMD Majene, Sudirman, membenarkan pemanggilan tersebut. Ia mengaku menerima surat resmi dari Kejari Majene yang meminta kehadiran dua orang bawahannya. “Iya, keduanya dipanggil sebagai saksi terkait dugaan korupsi mantan kepala desa,” singkatnya melalui pesan WhatsApp.

Kasus ini bermula dari program pengadaan 56 unit mesin katinting yang dibiayai dari Dana Desa tahun anggaran 2023. Dalam musyawarah desa, warga dijanjikan mesin merek MPH Platinum dengan harga Rp5 juta per unit. Namun, realisasi di lapangan jauh dari harapan.

Faktanya, mesin yang dibagikan adalah merek Asahikawa dengan nilai pasar hanya sekitar Rp2 juta per unit. Selisih harga inilah yang menimbulkan kecurigaan adanya praktik mark-up dan penyalahgunaan anggaran.

Jika dikalkulasi, seharusnya anggaran mencapai Rp280 juta untuk 56 unit mesin katinting. Namun, pengadaan yang terealisasi hanya sekitar Rp112 juta. Dengan demikian, potensi kerugian negara ditaksir mencapai Rp168 juta.

Ironisnya, sebagian warga menolak menerima bantuan tersebut. Mereka merasa ditipu karena mesin yang diberikan tidak sesuai kualitas maupun merek yang dijanjikan dalam musyawarah desa sebelumnya. Hal ini memperkuat dugaan bahwa program tersebut sarat penyimpangan.

Baca Juga  Pelaku Kekerasan Seksual Anak Dibawah Umur Sempat Burong Beberapa Hari, Ditangkap di Barru dan Ditembak Saat Coba Kabur

Jika terbukti bersalah, mantan Kades Balombong berinisial N berpotensi dijerat Pasal 2 Ayat (1) Jo Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ancaman hukumannya sangat berat: pidana penjara seumur hidup atau minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, serta denda antara Rp200 juta hingga Rp1 miliar.

Selain aspek hukum, kasus ini menyentuh regulasi penting terkait tata kelola desa. Berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pengelolaan dana desa wajib dilakukan secara transparan, akuntabel, partisipatif, serta disiplin anggaran. Sayangnya, prinsip-prinsip tersebut kerap diabaikan oleh sejumlah aparat desa.

Bahkan, dalam Peraturan Menteri Desa PDTT Nomor 8 Tahun 2022 ditegaskan bahwa pengawasan dana desa menjadi tanggung jawab bersama: mulai dari pendamping desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), hingga masyarakat. Namun lemahnya pengawasan membuat praktik penyelewengan sering luput dari deteksi dini.

Fenomena korupsi dana desa bukan hanya terjadi di Balombong. Berbagai desa di Indonesia menghadapi persoalan serupa, yang pada akhirnya merugikan negara sekaligus menghambat peningkatan kesejahteraan warga. Padahal dana desa bersumber dari APBN yang nilainya mencapai puluhan triliun rupiah setiap tahun.

Baca Juga  Sempat Adu Jotos dengan Maling, Pemilik Rumah di Majene Kehilangan Laptop dan Uang

“Ini harus jadi pelajaran bagi desa-desa lain. Jangan sampai dana desa yang seharusnya meningkatkan kesejahteraan rakyat justru dijadikan ladang memperkaya diri,” tegas Saripuddin, salah satu tokoh masyarakat Majene.

Aktivis anti-korupsi di Majene juga mendesak agar Kejari tidak ragu menetapkan tersangka. Menurut mereka, kasus ini sudah menyita perhatian publik sehingga penanganannya harus transparan. “Kalau memang ada kerugian negara, siapa pun harus bertanggung jawab, termasuk mantan kepala desa,” ujar salah satu aktivis.

Kini, publik menunggu keberanian Kejari Majene dalam menuntaskan kasus ini hingga ke meja hijau. Sebab, tanpa komitmen yang tegas, dugaan korupsi dana desa dikhawatirkan akan terus berulang dan menjadi pola kejahatan terstruktur di tingkat desa.

Kasus Balombong menjadi bukti nyata bahwa pengawasan terhadap dana desa harus diperketat. Apabila aparat desa masih bermain-main dengan uang rakyat, maka penegakan hukum yang tegas adalah satu-satunya jawaban.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *