SWARAMANDAR.COM, MAJENE — Di balik aroma sedap dan cita rasa menggoda yang ditawarkan Rumah Makan Tipalayo, tersimpan persoalan serius yang kini menuai sorotan tajam publik dan pemerhati lingkungan. Bangunan yang terletak di Kelurahan Sirindu, Kecamatan Pamboang, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat itu, diduga berdiri tanpa mengantongi izin resmi dari pemerintah, bahkan memanfaatkan ruang laut tanpa dasar hukum yang jelas.
Tipalayo, yang selama ini dikenal sebagai salah satu destinasi kuliner favorit warga dan wisatawan lokal, diduga telah melakukan penimbunan laut atau reklamasi secara ilegal.
Praktik ini memunculkan kekhawatiran tentang rusaknya ekosistem pesisir, terutama karena kegiatan tersebut dilakukan tanpa dokumen Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL), dokumen penting yang menjadi syarat mutlak setiap aktivitas pembangunan di wilayah pesisir dan laut.
PKKPRL bukan sekadar formalitas administrasi. Dokumen ini memiliki peran strategis dalam memastikan bahwa setiap pemanfaatan ruang laut sesuai dengan prinsip keberlanjutan dan tidak membahayakan lingkungan hidup. Hal ini diatur secara tegas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.
Lebih jauh lagi, pembangunan tanpa izin lingkungan dan pemanfaatan ruang laut juga melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Pelanggaran terhadap regulasi ini bukan hal sepele. Pasal 75 dalam Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa setiap pihak yang memanfaatkan ruang laut tanpa izin dapat dijerat hukuman penjara hingga 3 tahun dan denda maksimal Rp 3 miliar.
“Ini bukan sekadar soal administrasi, tapi juga soal keberlanjutan lingkungan. Jika tidak dikaji dampaknya, pembangunan ini bisa mengganggu arus laut, merusak terumbu karang, dan habitat biota pesisir,” ujar Samsuddin, seorang pemerhati lingkungan laut di Kabupaten Majene.
Polemik ini juga mengangkat pertanyaan besar mengenai peran dan pengawasan dari pemerintah daerah. Bagaimana mungkin sebuah bangunan komersial bisa berdiri dan beroperasi di area pesisir yang tergolong kawasan rawan tanpa adanya kontrol dari instansi teknis seperti Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Kelautan?
Apakah ada unsur pembiaran atau kelalaian dalam proses pengawasan tata ruang pesisir di Majene?
Jika benar Tipalayo berdiri tanpa dokumen PKKPRL dan izin lingkungan, maka ini merupakan tamparan keras terhadap komitmen pemerintah daerah dalam menjaga kelestarian lingkungan serta menegakkan aturan tata ruang dan zonasi wilayah pesisir.
Samsuddin mendesak agar aparat penegak hukum, baik dari kepolisian maupun kejaksaan, turun tangan menyelidiki dugaan pelanggaran hukum yang terjadi.
“Jika benar pemiliknya melakukan pembangunan dan reklamasi secara ilegal, maka harus diberikan sanksi tegas sesuai hukum yang berlaku. Jangan sampai karena alasan ekonomi dan pariwisata, hukum dan lingkungan dikorbankan,” pungkasnya.
Kini, publik menunggu langkah konkret dari pemerintah daerah dan aparat penegak hukum. Apakah keberlanjutan ekosistem laut di Majene akan menjadi prioritas? Ataukah keuntungan segelintir pihak akan terus dibiarkan menggerus masa depan lingkungan pesisir?
Karena di balik nikmatnya sepiring ikan bakar di tepi pantai, bisa saja tersimpan jejak pelanggaran hukum dan kerusakan ekologi yang tak terlihat mata.