SWARAMANDAR.COM, MAJENE — Kasus dugaan pelecehan seksual di lingkungan pendidikan kembali mencoreng dunia sekolah. Kepala Sekolah SMA Negeri 2 Majene akhirnya ditahan penyidik Polres Majene setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindakan asusila terhadap siswi di sekolah yang dipimpinnya.
Tersangka resmi ditahan sejak Senin malam, 27 Oktober 2025, sekitar pukul 18.00 Wita, setelah pemeriksaan intensif yang dilakukan penyidik. Lelaki yang disebut sebagai “predator seksual berseragam ASN” itu kini mendekam di ruang tahanan Polres Majene, menunggu proses hukum lebih lanjut.
“Penahanan kami lakukan setelah pemeriksaan terhadap tersangka selesai dan alat bukti dinyatakan cukup,” ungkap Pelaksana Tugas Kasat Reskrim Polres Majene, Iptu M. Paridon Badri KM, S.Tr.K, M.H., kepada wartawan di Mapolres Majene, Selasa (28/10/2025).
Status tersangka terhadap kepala sekolah tersebut ditetapkan sepuluh hari sebelumnya, tepatnya pada Jumat, 17 Oktober 2025, melalui surat bernomor S.Tap/427/X/Res.1.24/2025/Reskrim. Penetapan itu merupakan hasil gelar perkara yang dilakukan penyidik sehari sebelumnya, setelah menemukan indikasi kuat adanya tindak pelecehan seksual di lingkungan sekolah.
Menurut M. Paridon, polisi telah mengantongi tiga alat bukti yang sah untuk menjerat pelaku. Bukti-bukti tersebut meliputi keterangan sejumlah saksi, hasil pemeriksaan ahli psikologi, serta bukti petunjuk lain yang memperkuat dugaan tindak pidana. “Kami sudah punya tiga alat bukti yang sah — saksi, ahli psikolog, dan petunjuk kuat,” tegasnya.
Dari penyidikan, terungkap modus tersangka yang diduga memanfaatkan posisi dan kewenangannya sebagai kepala sekolah untuk mendekati korban. Aksi tersebut berlangsung di lingkungan sekolah, sehingga memunculkan keresahan besar di kalangan guru dan orang tua siswa.
Penyidik menjerat tersangka dengan Pasal 82 ayat (1) dan (2) juncto Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Pasal itu menjerat pelaku perbuatan cabul terhadap anak dengan ancaman hukuman berat. “Ancaman hukuman minimal lima tahun dan maksimal lima belas tahun penjara, serta denda maksimal Rp5 miliar,” jelas M. Paridon.
Kasus ini memantik reaksi publik yang menuntut penegakan hukum tanpa kompromi. Aktivis perlindungan anak di Majene bahkan mendesak pemerintah daerah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pengawasan di sekolah-sekolah.
Polisi memastikan proses hukum tidak akan berhenti di tahap penyidikan. “Kami akan kawal kasus ini sampai ke meja hijau, agar korban mendapat keadilan dan pelaku dihukum setimpal,” tegas Iptu M. Paridon menutup pernyataannya.


 
							





